- CIPAYUNG PLUS JATIM TOLAK GELAR PAHLAWAN UNTUK SOEHARTO, SEBUT CEDERAI KEADILAN SEJARAH
- Roni Ardianto, Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Adalah Upaya Pemutihan Dosa Politik Orba
- FAM Desak Dinas Sosial Tandai Rumah Penerima Bansos, Soroti Kemiskinan Sumenep
- Puskesmas Pamolokan Luncurkan Inovasi PELITA: Terangi Langkah Ibu Menuju Persalinan Sehat dan Bahagi
- Sindiran Pedas Alif Rofiq di Hari Jadi Sumenep, Dari Migas hingga Infrastruktur Rusak
- Berapa Uang Pemkab Sumenep yang Diendapkan di Bank?
- Ketua DPD KNPI Sumenep: Persatuan Pemuda Bukan Sekadar Kata, Tapi Gerak Nyata
- Semangat Pemuda Tercermin di Kain Batik Canteng Koneng
- Ajang Kalijaga Arabic Fest 2025 Se-ASEAN, Muzakki Harumkan Puncak Darus Salam
- Ada Elit Politik yang Jadi Beking Perkara Rokok Ilegal di Madura
MK Nyatakan Kata dan dalam UU Pelindungan Data Pribadi Bertentangan dengan UUD 1945

Keterangan Gambar : Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Rengga Sancaya:detikNews)
Jakarta, angkasatunews.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa data pribadi adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi secara maksimal.
Data pribadi tidak boleh digunakan atau diperlakukan dengan cara yang merugikan pemilik datanya, apalagi jika bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum, kehati-hatian, dan kerahasiaan.
Penegasan itu disampaikan dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 151/PUU-XXII/2024, yang menguji konstitusionalitas Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Baca Lainnya :
- Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto, Apa Bedanya dan Apa Dasar Hukumnya?0
- DPR Setujui Usulan Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto di Masa Reses0
- Polemik Transfer Data Pribadi Masih berlansung, Ini Kata Istana dan DPR0
- Laporan Kerusakan Lingkungan Masih Mandek, Polres Sumenep: Belum Ada Surat Masuk ke PIDKOR0
- MK Wajibkan Pemerintah Gratiskan Sekolah Swasta untuk Wajib Belajar 9 Tahun0
“Perlindungan data pribadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak atas perlindungan diri pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/07/2025).
Pasal yang diuji mengatur kewajiban bagi pengendali dan prosesor data pribadi untuk menunjuk pejabat pelindungan data (PPDP) dalam situasi tertentu, seperti pelayanan publik, pemrosesan data dalam skala besar, dan pemrosesan data sensitif atau terkait tindak pidana.
Masalah muncul pada penggunaan kata “dan” dalam huruf b, yang dianggap menyulitkan penerapan pasal tersebut. Pemohon menilai kata "dan" membuat ketentuan itu bersifat kumulatif, sehingga kewajiban menunjuk PPDP hanya berlaku jika ketiga kondisi (a), (b), dan (c) terpenuhi sekaligus.
Padahal, menurut pemohon, maksud sebenarnya adalah agar masing-masing syarat berdiri sendiri. Artinya, jika salah satu saja dari ketiga kondisi itu terpenuhi, pengendali data tetap wajib menunjuk PPDP.
MK sependapat dengan argumen tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa penggunaan kata "dan" memang menimbulkan salah tafsir yang bisa mempersempit kewajiban hukum.
“Sehingga kata ‘dan’ dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 haruslah dinyatakan inkonstitusional,” tegas Arief.
Mahkamah menyatakan bahwa kata yang tepat adalah "dan/atau", yang mencerminkan makna alternatif sekaligus kumulatif. Hal ini juga sesuai dengan praktik perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘dan/atau’,” tambah Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Dengan putusan ini, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh dua mahasiswa, Eric Cihanes dan Garin Arian Reswara, yang menggugat frasa “dan” karena dianggap menimbulkan multitafsir.
Para pemohon menjelaskan bahwa jika “dan” dimaknai kumulatif, maka banyak pengendali atau prosesor data yang seharusnya diwajibkan menunjuk petugas perlindungan data, justru menjadi tidak wajib, hanya karena tidak memenuhi ketiga syarat sekaligus.
Mereka juga mengingatkan bahwa masing-masing kondisi dalam pasal itu berhubungan dengan aktivitas pengelolaan data berisiko tinggi, sebagaimana juga disebut dalam Pasal 34 ayat (2) UU PDP.
Putusan MK ini menjadi penting untuk memastikan hak konstitusional subjek data tetap terjaga, dan tidak terganggu akibat kesalahan perumusan norma dalam undang-undang.










