Civil Society vs Oligarki: Pilkada Sumekar dan Restorasi Demokrasi
Oleh: Aldi Hidayat

By angkasatu 27 Nov 2024, 16:08:02 WIB Opini
Civil Society vs Oligarki: Pilkada Sumekar dan Restorasi Demokrasi

Keterangan Gambar : Arsip Foto:Unsplash


Pilkada Sumenep 2024 sejatinya menayangkan suatu peristiwa yang sukar dicari presedennya. Pertarungan integritas vs finansialitas menghadirkan gegap-gempita kontestasi politik yang dingin campur hangat. Bagaimana pun, minim atau bahkan tiadanya korban nyawa dalam Pilkada Sumekar harus dilestarikan, meski korban perasaan masih bergentayangan. Kubu pertama dimodalin rakyat, sedangkan kubu kedua memodalin rakyat merupakan tarik-tambang tidak sehat yang bagaimana pun mesti diulas dan dipecahkan pada tataran konseptual. Tulisan ini hendak mengajukan restorasi demokrasi supaya sistem ini berada pada relnya sehingga tidak lagi memakan banyak korban secara multidimensional, baik nyawa, perasaan, tenaga, biaya dan lain sebagainya. Artinya, tulisan ini lebih dari sekadar memihak pada salah satu paslon, namun hendak meluruskan kebengkokan demokrasi kita yang selama ini kita anggap baik-baik saja.

Demokrasi dan Sadar Diri: Satu Formula Refleksi

Politik dunia yang merembes pada politik Indonesia memunculkan argumen "agama tidak boleh dibawa pada politik". Argumen ini mesti dipahami secara selektif; dalam artian, bagian mana dari agama yang tidak boleh masuk ke politik? Sisi mengerikan dari politik adalah urusan menang-kalah, bukan benar-salah. Artinya, demi kemenangan, kebenaran boleh disembunyikan, sedangkan kesalahan boleh disulap jadi kebenaran. Pada ranah itu, Niccolo Machiavelli berkata, the end justifies the means; tujuan menghalalkan (segala) cara. Di bagian ini, agama dilarang masuk ke politik sebab dikhawatirkan agama diperalat demi kepentingan politik.

Baca Lainnya :

Akan tetapi, apakah dengan demikian agama sepenuhnya harus terpisah dari politik? Berkenaan ini, penting kita hayati sabda Nabi Saw dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ!

Jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya!

Secara sederahana, jika hendak membangun rumah, maka itu tugas tukang, bukan bupati, karena jika diserahkan kepada bupati, rumahnya akan roboh atau minimal tidak akan jadi! Hadits ini merupakan panduan universal yang berlaku di semua bidang; bahwa setiap bidang harus diserahkan kepada ahlinya. Pertanyaannya, siapa yang ahli dalam pemerintahan? Apakah dia yang sudah menjabat atau sudah lama aktif di partai atau ada kriteria lain yang lebih tepat sasaran?

Politik harus memenuhi dua kriteria keramat, yaitu legalitas dan legitimasi. Selama ini, elektabilitas kandidat ditentukan oleh sepak terjangnya dalam partai dan mirisnya seberapa banyak modal yang dia gelontorkan. Tolok ukur ini hanya memenuhi legalitas, yaitu aturan yang ada dalam dunia perpolitikan. Sayangnya, ia tidak memenuhi kriteria kedua,yaitu legitimasi yakni seberapa sesuai dengan aspirasi, hati nurani dan akal sehat rakyat. Itulah mengapa disadari atau tidak, banyak dari warga Konoha sering merasa tidak puas dengan kontestasi politik, sebab nurani mereka selama ini dipinggirkan, sedangkan legalitas yang ada tidak memancar langsung dari dunia batin masyarakat.

 Ironisnya, politik seringkali dipertandingkan layaknya mempertandingkan harga diri. Demi kemenangan, apa pun harus dikorbankan, sekalipun nyawa atau beberapa koper kertas yang resikonya dapat mengancam mental kandidat. Seolah kekalahan politik berarti jatuhnya harga diri sehingga berbagai aturan dilanggar dan dikhianati. Politik kita harus diimbangi oleh prinsip, "Lebih baik kalah secara terhormat daripada menang secara khianat!" Entah mengapa prinsip semacam ini nyaris alfa dari dunia politik kita. Tapi bagaimana pun juga, prinsip ini harus selalu menjadi aspirasi agar politik Indonesia segera pulih dari luka dan lara. Artinya, kecurangan dalam politik harus segera selesai dan politik harus taat prosedural.

 Kembali pada persoalan legitimasi, kita akan dihadapkan pada lebenswelt, konsep filosofis yang penulis ajukan dalam debat pemuda para paslon kemarin. Lebenswelt adalah dunia kehidupan, dunia yang langsung masyarakat alami dan rasakan. Di situ, kebenaran yang asli berada sebelum kemudian dimanipulasi menjadi data atau atas nama data. Di sana, akal sehat dan hati nurani mengejawantah secara nyata yang kemudian dikooptasi oleh penguasa. Lebih jelasnya, lebenswelt adalah supradata; jauh melampaui data sehingga tidak bisa dibantah, dibatalkan atau direkayasa. Politik harus mengacu kepada supradata, karena politik bukan tujuan, melainkan sarana membangun supradata. Pertanyaannya, apa kriteria kepemimpinan yang senafas dengan supradata, lebih tegasnya selaras dengan akal sehat dan hati nurani kita?

 Tolok ukur elektabilitas adalah intelektualitas dan etikabilitas, yaitu kemanunggalan antara otak dan akhlak. Lebih singkatnya, itulah integritas. Integritas hanya bisa dilacak dengan tiga, yaitu gagasan, sepak terjang di masa silam serta respon warga terhadap sosok yang bersangkutan. Mendapat modal dari warga merupakan penanda utama akan integritas kandidat. Akan tetapi, sisi lain yang harus kita sadari bahwa selain politik uang, politik identitas seringkali mencemari politik Indonesia. Politik identitas sederhananya; memilih pemimpin karena identitasnya sebagai kiai, guru dan lain sebagainya. Politik yang sehat harus berlandaskan integritas yaitu otak dan akhlak tanpa peduli identitas dan paslonnya. Entah guru sendiri atau tidak, selama suatu paslon berintegritas maka dia layak dan harusnya dia yang memimpin. Akan tetapi, dalam keadaan politik uang dan politik identitas masih bertahta, maka yang dapat kita lakukan adalah menakar mana yang resikonya paling kecil. Mana lebih berbahaya antara memilih pemimpin karena kekuatan dana dan sanderanya kepada aparatur desa dengan memilih pemimpin karena kekuatan integritas bahkan sampai dimodalin warga meski dalam batas tertentu ada unsur politik identitasnya? Silakan akal sehat dan hati nurani yang menjawabnya!

 Kecurangan hingga arogansi salah satu paslon dalam Pilkada Sumekar setidaknya berangkat dari dua alasan. Pertama, menganggap politik sebagai pertarungan harga diri sehingga apa pun harus dikerahkan bahkan dikorbankan, padahal demokrasi sama sekali tidak membolehkan demikian. Demokrasi adalah sistem yang memungkinkan siapa saja untuk bebas dalam rangka tahu batas bukan dalam rangka bablas. Artinya, demokrasi harus diimbangi energi sadar diri. Jika tidak layak di pemerintahan, maka jangan sampai memaksakan ambisi. Ini sama sekali tidak bermaksud menjatuhkan, tapi murni untuk menghindari adanya korban, entah dari kubu sendiri lebih-lebih dari kubu lawan. Kedua, khawatir jika paslon yang dimodalin rakyat menang, maka paslon satunya akan jadi gelandangan. Paslon yang dimodalin rakyat artinya berangkat dari integritas bahwa politik tunduk pada persaudaraan. Kemenangan paslon demikian dalam kontestasi justru akan meminimalisir korban karena targetnya bukan kekuasaan, melainkan pemberdayaan dan penyejahteraan warga sekalipun terhadap kubu lawan.

Letakkan Politik di Bawah Telapak Kaki Kebenaran dan Persaudaraan!

 Politik yang sehat ditunggangi oleh kebenaran dan persaudaraan bukan balik menunggangi keduanya. Selama ini, politik kita memperkosa kebenaran dan persaudaraan dalam rangka mencapai kekuasaan dengan cara memeras warga yang harusnya dilindungi dan diberdayakan. Mengapa kebenaran dan persaudaraan harus beriringan? Salah satu karakter kebenaran adalah kepahitan sebagaimana disampaikan Nabi Saw, qul al-ḥaq wa law kana murran: sampaikan kebenaran sekalipun pahit adanya! Jika kita hanya mengacu pada kebenaran, maka sekian banyak orang akan jadi korban sebab manusia memang tempat salah dan lupa. Karena itu, kebenaran harus diimbangi persaudaraan supaya kesalahan orang lain disikapi dengan pemberdayaan bukan penghakiman.

 Di sisi lain, seringkali persaudaraan memangkas kebenaran, misal demi menjaga rasa nyaman dengan kawan, maka si kawan berhak masuk pemerintahan padahal dirinya tidak pantas terhadap jabatan yang diemban. Karenanya, persaudaraan mesti dipantau oleh kebenaran, khususnya dalam ranah politik. Mungkinkah dua nafas kehidupan dan nyawa peradaban ini menyala dalam politik kita? Mungkin saja asalkan kita semua sudah sadar dan berani menghidupkan politik yang berbasis integritas, bukan berbasis identitas apalagi finansialitas! Sekian. Salam sejahtera untuk semua!

*Aldi Hidayat, pendiri dan ketua Komunitas Rendekar (Renaissance Akademisi-Intelektual Madura)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment

Loading....



Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.