Dari Demokrasi ke Datakrasi
Oleh: Aldi Hidayat

By angkasatu 06 Des 2024, 21:55:36 WIB Opini
Dari Demokrasi ke Datakrasi

Keterangan Gambar : Arsip foto: Unsplash


Simalakama Demokrasi

Demokrasi bukan sistem ideal bagi suatu negara, namun itulah tatanan terbaik yang paling memungkinkan untuk manusia cipta dan tata. Betapa pun demikian, demokrasi dalam arti penuh secara politik menuai pro-kontra bahkan di lingkungan kemunculannya, yakni Eropa. Revolusi Prancis menandai terminal pemberangkatan demokrasi menuju belahan dunia, namun negara-negara Eropa tidak satu suara dalam menanggapinya. Kendati demikian, ide demokrasi meresap kuat pada kesadaran politis Eropa sehingga melahirkan monarki konstitusional.

Betapa pun terbaik dari sekian alternatif, demokrasi tetaplah menghadirkan benalu dan sembilu. Dalam Escape from Freedom, Erich Fromm mengidentifikasi lingkaran setan penghambaan. Eropa berhasil menghindar dari totalitarianisme agama namun masuk dalam tribalisme baru bernama ideologi, seperti sosialisme, komunisme, fasisme, kapitalisme dan lain seterusnya. Masing-masing menelan korban nyawa berskala besar di samping selaksa pelanggaran fatal atas keadilan, baik moral, material, psikis maupun fisik.

Baca Lainnya :

Abad 20 adalah kontestasi suka-duka multisektoral yang tumpang-tindih. Pada abad ini, sejarah menayangkan sublimasi ilmu pengetahuan berikut seabrek inovasi yang mencengangkan. Pada saat yang sama, perang, genosida, pembantaian dan pelanggaran atas hak asasi manusia menorehkan warna kelam, suram dan seram pada kanvas sejarah. Tak pelak lagi, Anthony Giddens berkumandang, the 20th century is the bloody and frightening one.

Pada abad itu, berjubel-jubel pemikir, teoritisi, filsuf, praktisi, cendekiawan, ilmuwan dan intelektual berlomba-lomba merakit ide-ide brilian dalam lanskap politik dan sosial. Pertarungan ideologi menyala sehingga menyuburkan tumbuh-kembang idealisme dan cita-cita. Memasuki penghujung abad, kemegahan pikiran ludes di hadapan lembar-lembar kertas. Pragmatisme politik, demikian ujar John B. Thompson dalam Studies in the Theory of Ideology, telah membonsai tatanan politik hari ini. Idealisme sebagai kemegahan terakhir, petuah Tan Malaka kini tinggal aforisma. Briliansi pemikiran segera tumbang di hadapan uang, pengusaha lebih bertahta dibanding pemikir, penguasa mengabdikan diri pada kilauan kertas merah-biru tinimbang prospek masa depan bermutu. Dalam situasi itu, seberapa jauh demokrasi dapat dipertahankan? Haruskah revolusi atau restorasi demokrasi?

Mencari Pangkal Persoalan

Akar segala kejahatan, ketidakadilan dan pengabaian atas mewahnya pemikiran adalah tiada meratanya kesejahteraan. Manusia selalu dibingungkan oleh dilema antara bertahan hidup atau menghidupkan cita-cita. Yang pertama lebih menghegemoni siapa saja. Atas nama bertahan hidup, segalanya dapat dikorbankan tidak terkecuali agama, idealisme dan harga diri. Sebongkah ironi yang seakan tidak membuka celah solusi. Antara bersikap fatal atas berbagai carut-marut yang menghina kemanusiaan atau bergerak naif guna merombak tatanan. Sampai kapan simalakama hidup terkhusus demokrasi terus mengangkang?

Bersamaan dengan faktor pertama di muka, bias selalu niscaya menggerogoti idealita sosio-politik yang sesungguhnya. Manusia selalu membawa pespektif, persepsi dan terutama kepentingan sendiri. Semua bersembunyi di balik citra dan retorika. Sekian abad manusia dibuai oleh idealita lalu dikecewakan sekaligus dibungkam oleh realita. Bias adalah realita niscaya yang senantiasa menggagalkan idealita (cita-cita, nilai, aspirasi dan lain sebagainya). Mungkinkah memangkas bias sehingga meski mustahil memusnahkannya, tetapi sanggup menguras drastis resiko-resikonya?

Bias menjadikan kesejahteraan terseok-seok dan tersedot ke dalam segelintir kelompok manusia. Kapitalisme bersanding demokrasi liberal selaku tatanan akhir zaman kata Francis Fukuyama justru menimbulkan kesenjangan raksasa. Beberapa cuil orang overdosis kaya, sedangkan rerata orang hidup pas-pasan dan terlunta-lunta. Praktis kelompok kedua menjadi mangsa empuk kalau tidak sepanjang masa, maka dalam tempo nan lama.

Datakrasi: Sistem Surgawi

Berhadapan tsunami dilematis ini, sains dan teknologi sayup-sayup memendam potensi solusi. Mesin tidak bias dan tidak sarat kepentingan sebagaimana manusia. Mesin hanya butuh perawatan yang meminimalisir biaya secara drastis. Pada saat sama, mesin menorehkan capaian lebih efektif, efisien, akurat dan adekuat. Jika mesin kini digadang-gadang merampas kecerdasan dan kedaulatan manusia, dapatkah diupayakan sebaliknya? Bahwa mesin merawat kemanusiaan dan kedaulatan kita? Sim salabim abracadabra, mari kita berselancar dalam imajinasi prospektif tentang politik bertajuk datakrasi.

Manusia sering gagal mewakili aspirasi sesamanya, tetapi mesin justru jauh lebih pengertian dan tepat sasaran dalam melakukan hal serupa. Pada sistem datakrasi, tugas-tugas negara diambil-alih oleh mesin, seperti penyerapan aspirasi, penetapan kebijakan dan eksekusi aturan. Suatu saat, Artificial Intelligent (AI) akan menjelma mesin penyerap aspirasi. Ia berlokasi di hampir seluruh kota, mendulang keluhan dan persoalan setiap warga. Semua itu diolah sedemikian rupa menjadi kebijakan negara. Para menteri bahkan kalau perlu presiden yang ternyata mesin juga mewartakan dan mengeksekusi keputusan kepada para warga.

Lembaga yudikatif bekerja melalui drone-drone yang memantau aktivitas manusia setiap harinya. Sekali tampak kejahatan, drone akan mengaktifkan polisi robotik untuk menginterogasi pelaku dan korban. Setiap pihak akan disikapi secara adil, karena mesin yang bekerja sudah sangat canggih dan tentunya tidak mengidap penyakit bias. Kekayaan SDA diolah oleh pabrik-pabrik otomatis sehingga pemenuhan kebutuhan warga menelan biaya murah atau bahkan gratis. Sandang, pangan dan papan sangat terjangkau sehingga tidak ada lagi gelandangan. Drone negara akan terus bekerja mencari kesenjangan lalu mengaktifkan robot-robot otomatis untuk memenuhinya.

Andaikata utopia macam itu mengemuka, apa yang tersisa untuk manusia? Menutup uraian ini, Martin Suryajaya berkata, "Sudah waktunya negara dan politik diurus oleh mesin sehingga manusia bisa betul-betul hidup sebagai manusia; menulis puisi di pagi hari, menjalankan piket kerja sosial di siang hari, nongkrong-nongkrong di sore hari, berfilsafat di malam hari."

Aldi Hidayat, pendiri dan ketua Komunitas Rendekar (Renaissance Akademisi-Intelektual Madura). 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment

Loading....



Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.