Pembinaan Bukan dengan Tangan Kasar, Akademisi Hukum Kritik Keras Aksi Kades Sapeken

By angkasatu 20 Agu 2025, 16:43:49 WIB Daerah
Pembinaan Bukan dengan Tangan Kasar, Akademisi Hukum Kritik Keras Aksi Kades Sapeken

Keterangan Gambar : Pembinaan Bukan dengan Tangan Kasar, Akademisi Hukum Kritik Keras Aksi Kades Sapeken


Sumenep, angkasatunews.com – Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Kepala Desa Sapeken, Joni Junaidi, terhadap seorang perempuan muda bernama Nadia (21), menuai sorotan dari berbagai pihak.

Menanggapi klaim Joni yang menyebut tindakannya sebagai bentuk pembinaan, dosen hukum di salah satu universitas di Madura, Herman Felani, menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak memiliki dasar hukum.

“Dalam perspektif hukum pidana, tindakan menampar atau menempeleng orang lain sudah termasuk penganiayaan. Itu diatur dalam Pasal 351 KUHP. Jadi tidak ada istilah ‘pembinaan dengan cara memukul’. Itu bentuk kekerasan, titik,” tegas Herman, Selasa (19/8/2025).

Baca Lainnya :

Menurutnya, posisi kepala desa adalah jabatan publik yang memiliki fungsi melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Segala bentuk tindakan fisik yang melukai warga justru menunjukkan penyalahgunaan kewenangan.

“Pembinaan itu sifatnya edukatif, membimbing, dan dilakukan dengan cara yang manusiawi. Kekerasan fisik justru menyalahi prinsip hukum, etika pemerintahan, dan bahkan prinsip moral agama yang sering dijadikan alasan pembenaran,” lanjutnya.

Herman menambahkan, dalam konteks hukum positif Indonesia, tidak ada ruang yang membolehkan kekerasan dengan alasan moralitas atau menjaga marwah desa. Bahkan, tindak kekerasan terhadap perempuan memiliki perlindungan khusus dalam berbagai regulasi.

Ia juga menyoroti pernyataan Joni yang menyebut Nadia pernah menandatangani surat pernyataan berpakaian sopan pada 2024. Menurut Herman, hal itu tidak serta-merta bisa dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.

“Andai benar ada pernyataan itu, ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusi sebagaimana di ataur dalam kentuan uu 39 tahun 1999. Setiap orang berhak memakai pakaian apapun yang ia suka, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, serta tidak mengganggu ketertiban umum” ujarnya.

Herman juga mengingatkan agar masyarakat tidak terkecoh dengan narasi moralitas yang dibawa dalam kasus ini. Menurutnya, menegakkan nilai agama dan norma sosial tidak boleh ditempuh dengan kekerasan, apalagi oleh pejabat publik.

“Agama itu mengajarkan kelembutan, bukan kekerasan. Norma sosial ditegakkan dengan dialog, bukan kekerasan fisik. Justru tindakan memukul warga di depan umum mencoreng marwah desa yang katanya ingin dijaga,” tegasnya.

Analisis Konsekuensi Hukum

Lebih jauh, Herman menjelaskan bahwa jika terbukti, Joni Junaidi berpotensi dijerat dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun 8 bulan penjara. Apabila terbukti menimbulkan luka serius, ancaman hukuman bisa lebih berat.

“Ini bukan persoalan sepele, terduga pelaku orang yang memeliki kekuasaan.  Polisi wajib memproses kasus ini secara profesional” ungkapnya.

Selain ancaman pidana, kata Herman, kasus ini juga dapat berdampak pada kedudukan Joni sebagai kepala desa. Berdasarkan kentuan UU No. 3/2024 tentang perubahan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala desa yang tersangkut kasus pidana dapat diberhentikan, jika terbukti bersalah.

“Jadi konsekuensinya bukan hanya pidana penjara, tapi juga bisa kehilangan jabatan sebagai kepala desa. Ini harus jadi pelajaran bahwa kekuasaan jangan digunakan secara serampangan. Kepala desa itu tugasnya menjalankan pemerintahan desa bukan ngurusin urusan moral” tegas Herman.

Desakan Penegakan Hukum

Ia menegaskan, penanganan kasus ini harus transparan, adil, dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Status kepala desa tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari proses hukum.

“Setiap orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum. Kepala desa sekalipun tidak kebal hukum. Kalau memang ada laporan dan ditemukan alat bukti yang cukup ya harus diproses sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Jangan sampai ada kesan hukum itu tumpul ke atas dan tajam kebawah. Kalau ini dibiarkan, citra aparat dan kepercayaan masyarakat pada hukum akan hancur,” pungkasnya.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment

Loading....



Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.