Breaking News
- CIPAYUNG PLUS JATIM TOLAK GELAR PAHLAWAN UNTUK SOEHARTO, SEBUT CEDERAI KEADILAN SEJARAH
- Roni Ardianto, Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Adalah Upaya Pemutihan Dosa Politik Orba
- FAM Desak Dinas Sosial Tandai Rumah Penerima Bansos, Soroti Kemiskinan Sumenep
- Puskesmas Pamolokan Luncurkan Inovasi PELITA: Terangi Langkah Ibu Menuju Persalinan Sehat dan Bahagi
- Sindiran Pedas Alif Rofiq di Hari Jadi Sumenep, Dari Migas hingga Infrastruktur Rusak
- Berapa Uang Pemkab Sumenep yang Diendapkan di Bank?
- Ketua DPD KNPI Sumenep: Persatuan Pemuda Bukan Sekadar Kata, Tapi Gerak Nyata
- Semangat Pemuda Tercermin di Kain Batik Canteng Koneng
- Ajang Kalijaga Arabic Fest 2025 Se-ASEAN, Muzakki Harumkan Puncak Darus Salam
- Ada Elit Politik yang Jadi Beking Perkara Rokok Ilegal di Madura
Fenomena Mantab, Rojali, dan Rohana Cerminkan Lemahnya Daya Beli Masyarakat

Keterangan Gambar : Ilustrasi (foto: istimewah)
Jakarta, angkasatunews.com — Tiga fenomena belakangan ini mencuat di tengah publik sebagai cerminan nyata dari menurunnya daya beli masyarakat. Istilah-istilah populer seperti "mantab" alias makan tabungan, "rojali" atau rombongan jarang beli, serta "rohana" yang berarti rombongan hanya nanya, kini menjadi gambaran nyata kondisi ekonomi di lapangan.
Masyarakat terpaksa mengandalkan tabungan untuk bertahan karena pendapatan yang stagnan tak sebanding dengan lonjakan harga kebutuhan pokok. Aktivitas ke pusat perbelanjaan pun kini lebih sering dimanfaatkan sekadar untuk jalan-jalan atau melihat-lihat barang, bukan untuk berbelanja.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menilai kondisi ini harus segera direspons pemerintah dengan kebijakan strategis untuk menghidupkan kembali daya beli masyarakat.
Menurutnya, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan, dan sebagian di antaranya telah terbukti efektif saat masa pandemi COVID-19. Salah satunya adalah dengan mendorong kegiatan pemerintah seperti MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) secara masif.
"Waktu COVID-19, daya beli masyarakat benar-benar rendah. Saat itu pemerintah mendorong dengan mengadakan banyak MICE di hotel dan restoran. Lambat laun pergerakan ekonomi lumayan pulih. Saya kira, langkah itu bisa dilakukan lagi," ujar Yusran, dikutip dari Antara, Minggu (27/7/2025).
Yusran memperkirakan bahwa fenomena "mantab", "rojali", hingga "rohana" akan terus berlanjut hingga paruh kedua tahun ini. Situasi tersebut, katanya, turut menekan pelaku usaha dan berdampak luas pada kesejahteraan mayoritas masyarakat.
"Turunnya daya beli memang tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga global, maka dari itu dibutuhkan campur tangan pemerintah sebagai regulator untuk bisa mendongkrak daya beli yang melemah," tambahnya.
Di sisi lain, Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono, menegaskan bahwa istilah "rojali" dan "rohana" bukan merupakan indikator kemiskinan, melainkan gejala sosial yang timbul dari tekanan ekonomi, terutama pada kelompok masyarakat rentan.
"Bisa jadi untuk refresh atau ada tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan sehingga mereka akan ‘rojali’ di mal dan lain sebagainya,” ucap Ateng di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025, Ateng mencatat bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi juga mulai menahan konsumsi. Namun, hal ini tidak serta-merta memengaruhi angka kemiskinan secara langsung karena hanya terjadi di segmen tertentu.
Dengan demikian, lanjut Ateng, fenomena seperti "rojali" perlu dipandang sebagai sinyal penting bagi para pembuat kebijakan. Tidak cukup hanya fokus pada pengentasan kemiskinan ekstrem, tetapi juga perlu memberikan perlindungan terhadap daya beli dan menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga, khususnya di kalangan menengah ke bawah.
Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments










